Sangat Menyenangkan melihat spanduk-spanduk
"Hormatilah Orang Yang Berpuasa". Tapi lebih menyenangkan lagi jika ucapan di ruang publik itu dibikin dan dipasang justru oleh saudara-saudara kita kaum Kristiani, umat Budha, penganut Hindu, dan lain-lain.
Gantian secara indah. Biarkan orang-orang Islamlah nanti yang membentang spanduk Selamat atas perayaan Natal, Paskah, Waisak, Galungan, Sedekah Bumi dan beragam ritus lainnya.
Betapa nikmatnya suasana begitu, mungkin senikmat buka puasa ala Turki dengan
Roti Pide yang berhiaskan wijen, yang bentuknya bunda tipis seperti pizza tanpa topping.
Agak sedikit menggelikan jika akhirnya mengetahui bahwa pemasang ucapan "Hormatilang Orang Yang Berpuasa" adalah orang yang berpuasa itu sendiri. Beribadah kok pingin diPUJI. Beribadah kok pingin diHORMATI.
Sangat indah juga andai selama bulan penuh berkah ini iklan-iklan media massa banyak yang memberi anjuran menu yang sederhana namun sehat buat berbuka.
Hidangan itu tak harus
Mezza atau
Houmous dan berbagai menu daging panggang khas Lebanon. Banyak makanan tradisional dari berbagai penjuru Nusantara yang sederhana namun bergizi tinggi.
Tapi akan lebih indah lagi jika selama bulan puasa ini tidak lagi ada iklan-iklan tentang obat-obatan maupun suplemen yang harus diminum sebelum puasa agar yang berpuasa tetap bugar dan fit.
Iklan-iklan seperti itu seolah ingin mengatakan bahwa puasa tidak menyehatkan. Puasa bikin sakit. Karena itu perlu suplemen, Padahal, bagi yang yakin, puasa itu sendiri sudah langkah yang amat sangat menyehatkan.
Juga alangkah indahnya jika selama puasa kita tak saja menahan diri dari keinginan makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari rasa khawatir terhadap masa depan kita.
Begini, Bagi saya paling gampang adalah menghina Tuhan. Tak harus dengan menginjak-injak Kitab Suci-Nya. Tak harus sampai meledek utusan-Nya. Khawatir besok tak bisa makan saja bagi saya itu sudah merupakan penghinaan luar biasa terhadap Tuhan.
Ah, betapa lezatnya hidup tanpa rasa khawatir. Mungkin rasanya selezat berbuka dengan
Cendol kalau kata orang Sunda atau
Dawet kalau kata orang Jawa.
Tentu saja berbuka dengan
Kolak singkong juga tak kalah nikmatnya meski akhir-akhir ini saya pingin ketawa sendiri setiap mau menyatap kolak singkong. Tanya kenapa? Ya karena ternyata singkong kita pun diimpor dari Cina dan Vietnam.
Entahlah kalau bahan-bahan untuk cendol atau dawet.
Saya berharap
Es Pisang Ijo yang khas Sulawesi Selatan itu pisangnya belum diimpor entah dari mana.
Tapi saya kira perkaranya bukan soal berbuka makanan impor atau tidak. Soal intinya adalah bagaimana kita berpuasa tanpa minta dihormati. Biarlah orang menghormati kita lantaran kelakuan kita akibat berpuasa memang pada akhirnya pantas dihormati.
Soal intinya adalah bagaimana kita berpuasa sehingga kelak tak pernah khawatir lagi terhadap hari depan, karena kita tak ingin menghina Tuhan sehina-dinanya menghina.
Tak ada salahnya berbuka menu impor, seperti
Gullac dari Turki, yang mengandung biji delima. Toh kini banyak yang yakin biji delima baik untuk kesehatan.
*Sumber : Dalang Tetangga.